Kasus-1: Fulan
butuh uang Rp 5 juta datang ke Lembaga Keuangan (BMT) untuk menyampaikan keperluannya.
Fulan minta agar motornya bisa dibeli BMT Rp 5 juta, kemudian motor
tersebut akan dia beli lagi dengan cara angsuran. Pihak BMT setuju membeli
motor Fulan Rp 5juta dan menjual lagi secara kredit kepada Fulan senilai Rp 6
juta diangsur satu tahun. Bolehkah?
Pendapat hukum: Transaksi pada Kasus-1 di atas haram karena termasuk jual beli ‘inah. Motor tersebut hanya dijadikan
sarana sebagai pengganda uang, termasuk riba, hukumnya haram.
Kasus 2: Fulan
butuh uang Rp 5 juta. Datang ke BMT untuk pinjam uang dengan menggadaikan
motornya. Karena Fulan masih butuh motor tersebut untuk operasional, dia minta
agar bisa tetap memakai motor tersebut. BMT setuju memberikan pinjaman Rp 5
juta dan diangsur 10 bulan. BMT minta motor Fulan sebagai barang gadaian. BMT
kemudian menyewakan sepeda motor tersebut kepada Fulan dengan biaya sewa Rp 100
ribu per bulan selama Fulan belum bisa lunasi utangnya. Bolehkah demikian?
Pendapat hukum: Transaksi pada Kasus-2 di atas haram. Masuk kategori riba karena menerima lebihan
dari pokok pinjaman. BMT tidak boleh menyewakan sepeda motor kepada pemiliknya
sendiri. Pada hakekatnya barang gadaian tetap milik Fulan, sehingga Fulan yang
berhak meramut. Tidak pantas jika Fulan menyewa sepeda motor miliknya sendiri
kepada BMT yang tidak memiliki hak kepemilikan atas sepeda motor tersebut. Jika
barang gadaian tersebut dititipkan, disimpan oleh BMT, baru BMT boleh meminta
biaya titipan sebagai biaya peramutan barang gadaian tersebut. Besarnya biaya
titipan tidak boleh diprosentasekan dengan pinjaman yang diberikan.
Solusi Kasus-1 dan Kasus-2:
Alternatif-1:
BMT membiayai pembelian emas untuk Fulan seberat 10 gram (senilai sekitar Rp 5
juta). Nanti Fulan wajib mengembalikan emas dengan berat yang sama setelah satu
tahun, atau sesuai dengan jangka waktu yang disepakati. Emas tersebut oleh
Fulan dijual ke toko emas, sehingga Fulan bisa memperoleh uang tunai untuk
keperluannya.
Catatan: BMT tidak boleh mensyaratkan agar
emas tersebut dijual kembali padanya. Pada saat jatuh tempo, Fulan
mengembalikan emas seberat 10 gram pada BMT.
Alternatif-2: Fulan menggadaikan salah satu asetnya
ke BMT (motor, emas, dll). BMT memberikan pinjaman Rp 5 juta dan menerima
barang gadaian dari Fulan. BMT menetapkan biaya titipan atas aset milik Fulan
yang digadaikan tersebut, misalnya sebesar Rp 2 ribu per hari.
Kasus-3: BMT
memberikan pinjaman pada Fulan Rp 5 juta. BMT minta biaya administrasi sebesar
2% dari nilai pinjaman. Bagaimana?
Pendapat hukum: Transaksi tersebut haram, masuk dalam
kategori riba. Biaya administrasi tidak boleh diprosentasekan dengan pokok
pinjaman.
Solusi Kasus-3: Biaya administrasi ditetapkan secara
nominal dalam jumlah tertentu sesuai dengan yang dikeluarkan. Biaya-biaya yang
harus dikeluarkan sebagai konsekuensi dari timbulnya suatu akad. Contoh: biaya
alat tulis, meterai, upah saksi, upah tukang ketik, dan lain-lain.
Kasus-4: Fulan mengajukan pembiayaan beli tanah
ke BMT senilai Rp 100 juta. BMT kemudian membelikan tanah tersebut. Setelah
terbeli, BMT kemudian menjual kembali tanah tersebut pada Fulan senilai Rp 120
juta diangsur selama 5 tahun (akad murabahah). Ternyata setelah jangka waktu
yang ditetapkan habis (5 tahun), Fulan belum bisa melunasi angsuran. Misalkan
masih tersisa Rp 20 juta yang belum dilunasi. BMT kemudian memperpanjang waktu
angsuran 1 tahun lagi, namun mensyaratkan Fulan nantinya harus melunasi senilai
Rp 22 juta. Boleh tidak ini?
Pendapat hukum: Transaksi di atas haram, masuk dalam kategori riba nasi’ah. Jika belum bisa
melunasi pada saat jatuh tempo, BMT bisa memperpanjang pengembalian
tanpa mengenakan tambahan dari kewajiban yang belum dilunasi.
Solusi Kasus-4: Pada saat akad murabahah, dicantumkan
jual beli tanah dengan hitungan per meter persegi harganya Rp 240 ribu. Tanah
yang diperjual belikan seluas 500 m2. Pada saat jatuh tempo ternyata A baru
bisa mengangsur senilai Rp 96 juta. Oleh BMT diperhitungkan, bahwa A baru bisa
beli tanah seluas 400m2. Jika A ingin membeli semua tanah tersebut
seluas 500m2, maka BMT menghitung ulang harga jual tanah terbaru sesuai harga
pasar. BMT kemudian menjual sisa 100m2 tanah yang belum dibayar A dengan harga
per m2 senilai Rp 300ribu. Sehingga sisa yang harus dibayar A sebesar Rp
300ribu x 100m2= Rp30 juta diangsur 1 tahun. /**
Dr. H. Ardito Bhinadi, SE., M.Si
Dr. H. Ardito Bhinadi, SE., M.Si
0 komentar:
Posting Komentar